Monday 9 January 2017

sejarah tanah pasundan




Konon menurut wangsakerta, kerajaan pertama di tanah jawa adalah Salaka Nagara atau Rajatapura (Negeri Perak) dengan pendiri Aki Tirem (=Argyre : Ptolemy). Letaknya di teluk lada Pandeglang sekarang sekitar tahun 150 M. Pemerintahan Salaka Nagara dipimpin oleh raja-raja dengan gelar Dewawarman. Tercatat bahwa gelar Dewawarman diturunkan selama 8 generasi (Dewawarman I - VIII). Diperkirakan kejayaannya hanya sampai tahun 362 M. Selanjutnya penguasaan wilayah Jawa (bag 
Barat) dilanjutkan oleh Taruma Nagara dan Salaka Nagara pun menjadi kerajaan kecil.

Kerajaan Taruma Nagara tercatat dimulai sejak tahun 358 M dengan raja pertama bernama Jayasingawarman. Jayasingawarman berasal dari negeri Salankayana di India. Ia melarikan diri dari negerinya yang diserang oleh raja Samudragupta dari kerajaan Magada. Dia juga merupakan menantu Dewawarman VIII.

Pada pemerintahan raja Taruma Nagara yang ke-3, cucu Jayasingawarman yaitu Purnawarman (395 – 434), ibukota kerajaan dipindah ke kota baru dengan nama Sundapura (Kota Suci) disekitar muara Ciaruteun. Inilah catatan sejarah pertama mengenai awal digunakannya kata Sunda. Beliau juga memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Chandrabaga (Bhagasasi/Bekasi) sepanjang 6.114 tumbak (11 km).

Selanjutnya, pada masa Suryawarman (535 - 561 M) yang merupakan cucu Purnawarman, kekuasaan Taruma dilebarkan ke arah timur. Untuk itu dalam tahun 526 M, Manikmaya, menantu Suryawarman dari Tirta Kancana, diberikan kekuasaan untuk mendirikan kerajaan baru di Kendan, sekarang terletak di daerah Nagreg (terletak antara Bandung dan Garut). Yang pada masa selanjutnya, cicit Manikmaya yang bernama Wretikandayun (612) memindahkan ibukota Kendan ke kota baru yang diberi nama Galuh (=Permata). Kota tersebut diapit 2 sungai yaitu Citanduy dan Cimuntur. Kota tersebut sekarang bernama Desa Karang Kamulyan di Ciamis.

Cerita terus berlanjut dan raja-raja terus silih berganti sampai dengan raja terakhir Taruma Nagara yaitu Linggawarman. Ia merupakan raja yang ke-12 Taruma yang memerintah sekitar tahun 669 M. Dalam masa penguasaan Taruma telah terdapat 48 kerajaan bawahan diantaranya adalah Salaka Nagara, Galuh, Kendan serta Sunda Sambawa. Dikarenakan tidak memiliki anak laki-laki maka kekuasaan Linggawarman turun kepada menantu pertamanya Tarusbawa. Sebenarnya dia mempunyai 2 anak perempuan yang bernama Manasih dan Sobakancana. Manasih menikah dengan Tarusbawa pewaris kerajaan Sunda Sambawa dan Sobakancana menikah dengan Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri kerajaan Sriwijaya.

Pada masa pemerintahan Tarusbawa, terjadi perselisihan antara 2 menantu Lingawarman. Akibat perselisihan ini Jayanasa/Sriwijaya menyerang Tarusbawa/Taruma (wangsakerta). Akibat serangan itu Taruma melemah, sehingga Tarusbawa kembali ke kerajaan asalnya Sunda Sambawa dengan membawa kekuasaan Taruma. Selanjutnya Taruma Nagara dia ubah namanya menjadi Kerajaan Sunda. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa raja Sunda pertama (sebagai kerajaan besar) adalah Tarusbawa.

Penggantian nama Taruma menjadi Sunda dijadikan momen oleh Galuh/Wretikandayun untuk menyatakan lepas dari Sunda/Taruma (670). Dengan alasan merasa sederajat dengan kerajaan Sunda (sama-sama kerajaan bawahan Taruma). Wretikandayun (cicit Manikmaya) mengklaim wilayah kekuasaan Taruma sebelah Timur dari Kali Cipamali sampai kali Citarum. Saat itu Wretikandayun sudah berumur 78 tahun. Sehingga dia sudah mengenal betul kondisi politik Taruma. Klaim Galuh tersebut berlangsung mulus, karena Tarusbawa menghindari terjadinya peperangan. Bahkan saat itu Tarusbawa merupakan sahabat dari Bratasena anak dariWretikandayun. Sehingga itulah akhir dari cerita Taruma Nagara yang melemah dan menjadi 2 kerajaan dengan sungai citarum sebagai batas.

Masa Keemasan Galuh

Setelah lepasnya Galuh dari Sunda, Tarusbawa masih berkuasa. Tarusbawa merupakan raja yang panjang umur dan berkuasa lama, diperkirakan berkuasa dari 669-723 M. Dia digantikan oleh cucu menantunya yang bernama Rakeyan Jamri atau lebih dikenal dengan Prabu Sanjaya Harisdharma. Adapun sang putera mahkota (anak Tarusbawa) meninggal sebelum dinobatkan, menyebabkan Tarusbawa digantikan oleh cucu perempuannya yang bernama Tejakancana yang bersuamikan Sanjaya ini. Sanjaya sendiri merupakan anak Sanaha adik perempuan dari Bratasena raja Galuh saat itu.

Sementara itu di Galuh, diceritakan bahwa Wretikandayun yang bergelar Maharaja Suradharma Jayaprakosa setidaknya memiliki 3 anak dari Pohaci Bunga Mangle (Manawati/Candrarasmi) yaitu : Sempakwaja (Jatmika), Jantaka dan Mandiminyak (Amara). Diantara anaknya yang menggantikan dirinya adalah anak bungsunya yang bernama Mandiminyak. Dikarenakan anak tertuanya bernama Sempakwaja dan anak keduanya Jantaka dianggap cacat jasmani.

Selanjutnya Mandiminyak digantikan oleh anaknya dari Rababu yang bernama Bratasena (Sena). Sebenarnya permaisuri Mandiminyak adalah Dewi Parwati yang menurunkan putri Sanaha. Dewi Parwati adalah anakdari maharani Shima dari kerajaan Kalingga (sebelum Mataram Kuno). Namun kekuasaan Sena tak berlangsung lama, ia digulingkan oleh sepupunya, anak dari Sempakwaja yang bernama Purbasora. Purbasora saat itu dibantu oleh raja Indraprahasta dari sekitar daerah Cirebon. Hal ini menyebabkan Sena lari ke Kalingga.

Sanjaya yang merupakan keponakan Bratasena, melakukan serangan balas dendam ke Purbasora. Serangan ini dia lakukan setelah ia dinobatkan menjadi raja Sunda (723-732 M) Hal ini mengakibatkan keluarga Purbasora dimusnahkan. Sedangkan panglima perangnya yang bernama senopati Bimaraksa (Aki Balangantrang) berhasil melarikan diri ke daerah Geger Sunten. Bimaraksa merupakan anak dari Jantaka (anak kedua Wretikandayun). Dengan Serangan balas dendam ini, Galuh pun dikuasai oleh Sanjaya.

Sanjaya tak lama berkuasa di Galuh, untuk menciptakan ketentraman di Galuh, selanjutnya kekuasaan Galuh ia serahkan kepada Permana Dikusuma. Permana merupakan cucu dari Pubasora. Namun sebelumnya, Permana oleh Sanjaya dijodohkan dengan Dewi Pangrenyep anak dariAnggada (Patih Sunda). Dia juga mengangkat anaknya Tamperan sebagai kepala pasukan Galuh. Untuk Demunawan adik Purbasora (anak Sempakwaja dan Wulansari), dia memberikan kekuasaan atas Kuningan dan Galunggung.

Tahun 732 M, Sanjaya juga mewarisi Mataram/Kalingga dari ayahnya yang mengakibatkan ia melepaskan tahta kekuasaan di Sunda kepada anaknya Tamperan. Untuk itu Tamperan yang dikenal juga sebagai Rakai Panaraban (saat itu panglima di Galuh) dia panggil pulang dari Galuh ke Sunda untuk diserahi tahta Sunda. Sehingga saat itu sebenarnya kekuasaan Sanjaya meliputi Kerajan Sunda, Kerajaan Galuh serta kerajaan (Bhumi) Mataram (Kalingga Utara).

Sebelum dijodohkan dengan Pangrenyep, Permana sudah memiliki anak dariNaganingrum (anak dari Bimaraksa) yang bernama Surotama atau Manarah atau lebih dikenal dengan Ciung Wanara. Sedangkan selanjutnyadari Pangrenyep, ia memiliki anak bernama Kamarasa atau (Hariang/Arya) Banga. Banga sendiri diyakini sebagai anak hasil hubungan gelap antara Tamperan dan Pangrenyep. Sehingga saat Permana Dikusuma wafat (konon dibunuh atas perintah Tamperan) yang diangkat menjadi raja Galuh adalah Banga. Ia diberi gelar Prabu Kretabuwana Yasawiguna Aji Mulya.

Saat diadakan pesta sabung ayam di Galuh yang dihadiri juga oleh Tamperan yang saat itu sudah menjadi raja Sunda, Manarah melakukan kudeta terhadap Banga. Kudeta ini dilakukan dengan sokongan dari Bimaraksa dan bantuan Indraprahasta serta Kuningan. Dalam serangan ini Tamperan dan Pengrenyep tewas. Sehingga Sanjaya/Mataram mengirimkan pasukan untuk membalas dendam sekaligus membantu Banga. Peperangan pun akhirnya berubah menjadi peperangan yang besar.

Dalam peperangan tersebut, Harya Banga terdesak. Perang besar tersebut akhirnya didamaikan oleh Demunawan yang saat itu sudah menjadi Resi. Dalam perdamaian itu Sunda Galuh kembali menjadi terpisah. Sundadiberikan kepada Banga dan Galuh diberikan kepada Manarah. Selanjutnya untuk memperkuat perdamaian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan cicit Demunawan. Manarah dengan Kancanawangi dan Banga dengan Kancanasari adik dari Kencana Wangi.

Sang Manarah setelah menjadi raja mendapat gelar Prabu Jayaprakasa Mandaleswara Salakabuwana. Manarah memiliki 7 anak, namun kesemuanya perempuan. Tahta akhirnya turun ke anak perempuannya yang ke-7 yang bernama Purbasari yang bersuamikan Guruminda Sang Ministri. Kisah ratu Purbasari lebih dikenal di masyarakat dengan cerita pantun Lutung Kasarung. Namun selain cerita pantun tersebut, tidak ada catatan lain yang lebih lanjut untuk menjelaskan keadaan pemerintahannya pada waktu itu.

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicit dari Purbasari yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891). Sedangkan rakeyan Wuwus merupakan cicit dari Harya Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, Galuh dan Sunda kembali bersatu dibawah kekuasaan Rakeyan Wuwus dan selanjutnya disebut jaman Sunda Galuh.

Masa Sunda Galuh sampai Sunda Pajajaran

Sunda Galuh terus bertahan dalam perjalanan waktu, hingga pada suatu masa dalam kepemimpinan Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042) raja Sunda ke-20, terjadi kejadian yang disebut Pralaya. Pralaya adalah penyerangan besar besaran Wurawuri/Sriwijaya terhadap kerajaan Medang. Peristiwa ini menjadi istimewa karena Ia beribu seorang puteri Sriwijaya saudara dari Raja Wurawuri. Adapun istri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan juga merupakan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga.

Penerus Sri Jayabupati yang ke-5 adalah Prabu Dharmasiksa. Seyogyanya Prabu Dharmasiksa akan digantikan oleh Rakeyan Jayadarma. Jayadarma adalah suami Singamurti (Dyah Lembu Tal) yang merupakan anak Mahisa Campaka yang berarti cicit dari Ken Arok. Mereka memiliki anak yang bernama Sang Nararya Sanggrama Wijaya (Raden Wijaya). Namun sang putera mahkota Jaya Dharma meninggal sebelum dinobatkan. Akibat meninggalnya Jaya Dharma, Singamurti kembali ke negerinya bersama Raden Wijaya. Di negerinya setelah dewasa, Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit.

Kedudukan putera mahkota Jayadarma akhirnya digantikan oleh adiknya yang bernama Ragasuci (1297-1303). Ragasuci merupakan suami dari Dara Puspa puteri Kerajaan Melayu (Jambi) adik dari Dara Kencana istri Kertanegara, penguasa Singasari. Dan akhirnya Ragasuci dinobatkan menjadi raja kerajaan Sunda.

Selanjutnya keturunan ke-5 Ragasuci adalah Prabu Linggabuana (1350-1357). Prabu Linggabuana adalah raja Sunda yang tewas dalam perang Bubat. Sebagai penghargaan atas keberaniannya melawan Majapahit saat itu, Linggabuana diberi gelar Prabu Wangi. Kedudukan Linggabuana digantikan sementara oleh adiknya Bunisora selaku Pemangku Jabatan. Hal ini dikarenakan anak Linggabuana (Niskalawastukancana) waktu itu belum dewasa. Setelah dewasa maka Niskalawastu dinobatkan menjadi raja Sunda. Diperkirakan sejak saat Prabu Niskalawastu gelar Siliwangi muncul. Silih wangi berarti pengganti Prabu Wangi selanjutnya raja-raja penggantinya juga disebut sebagai Siliwangi.

Niskalawastu mempunyai anak dari Lara Sakarti yang bernama Susuktunggal dan dari Mayangsari bernama Dewaniskala. Kedua anaknya masing-masing diwarisi bagian kerajaan. Akibat pembagian waris tersebut Sunda kembali menjadi dua kerajaan. Bekas kerajaan Sunda di berikan kepada Susuktunggal, sedangkan bekas kerajaan Galuh diberikan kepada Dewa Niskala.

Dewa Niskala memiliki anak yang bernama Jaya Dewata (=Sri Baduga Maharaja). Jaya Dewata dinikahkan dengan Kentring Manik Mayang Sunda anak dari Susuktunggal. Saat Jayadewata mewarisi Galuh (1482-1521), Susuktunggal pun memberikan tahtanya kepada menantunya tersebut sehingga Sunda Galuh kembali menyatu. Beliau memindahkan ibukota dari kawali (Galuh) ke Pakuan. Dimasa Jaya Dewata inilah Sunda lebih dikenal dengan sebutan Pajajaran. Sebutan Pajajaran sendiri merupakan kependekan dari Pakuan Pajajaran. Pakuan Pajajaran kurang lebih berarti Istana(=Pakwwan) yang berjajar. Ini gambaran dari keadaan ibukota yang terdiri dari banyak istana yang rapi berjajar. Sehingga kerajaan tersebut dinamai Pakuan Pajajaran dengan lebih singkatnya Pajajaran.

Selain dengan Kentring Manik Mayang Sunda, Jaya Dewata pun menikah dengan Ambetkasih puteri Ki Gedeng Sindang Kasih juga dengan Subanglarang puteri Ki Gendeng Tapa raja Singapura (daerah sekitar Cirebon). Subanglarang adalah murid dari Pondok Pesantren Quro pimpinan Syekh Hasanuddin di Karawang. Dari Subanglarang ini Jaya Dewata memiliki anak yang bernama Kian/Rakean Santang/Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana, Rara Santang dan raja Sangara (Haji Mansyur). Rara Santang kemudian memiliki anak yang bernama Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.

Penerus tahta Jaya Dewata adalah Surawisesa anak dari Kentring Manik Mayang Sunda. Sedangkan Kian Santang diberikan kekuasaan untuk mengkontrol pelabuhan Cerbon menggantikan kakeknya Ki Gendeng Tapa. Selanjutnya Cerbon berkembang dari asalnya kerajaan bawahan menjadi sebuah kesultanan setelah mendapat dukungan Demak. Kekuasaan Kian Santang turun kepada menantu sekaligus keponakannya anak dari Rara Santang yang bernama Syarif Hidayatullah. Dalam masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah, Cirebon menyatakan melepaskan diri dari Pajajaran. Pernyataan ini ditandai dengan tidak lagi melakukan pengiriman upeti ke Pajajaran.

Pada masa pemerintahan Surawisesa (1521 – 1535) dia membangun kerjasama dengan Portugis. Kerjasama ini dibangun oleh Surawisesa yang saat itu sudah merasa terancam oleh kesultanan Cerbon yang mendapat dukungan Kesultanan Demak. (Tome Pires). Portugis diberi keleluasaan oleh Sunda untuk beroperasi di Sunda Kelapa. Kekhawatiran Surawisesa terbukti, 1524 Cirebon dibantu Demak merebut Banten. Selanjutnya anak Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Sultan Banten. Maulana Hasanuddin sendiri merupakan anak sunan dari istrinya yang bernama Nyai Kawunganten. Ia adalah anak dari Surasowan yang merupakan adik kandung dari Surawisesa.

Tahun 1527 Sunda Kalapa diserang Cirebon dengan tujuan untuk membalas serangan portugis atas Malaka (1511). Serangan dipimpin oleh Fatahillah/Tubagus Pasai yang merupakan veteran perang Malaka yang juga menantu Sunan Gunung Jati, dibantu Banten dan Demak. Serangan menyebabkan Sunda Kelapa jatuh ke Cirebon dan kemudian namanya di ubah menjadi Jayakarta. Sejak masa tersebut perselisihan antara Sunda dan para sultan (Cerbon+Banten) pun semakin membesar.

Akhirnya pada 11 Wesaka 1501 tahun Saka (8 Mei 1579) Kerajaan Sunda Pajajaran akhirnya benar-benar runtuh. Kejadian ini pada masa Raja Sunda keturunan Jaya Dewata yang ke-5 yaitu Prabu Surya Kancana/Ragamulya/Nusyamulya (1567-1579). Sunda runtuh setelah beberapa kali diserang Kesultanan Banten dan Cirebon. Keruntuhan ditandai dengan dibawanya Watu Gigilang/Palangka Sriman Sriwacana batu tempat penobatan raja Sunda ke istana Surosowan Banten. Sejak itu tidak ditemukan lagi catatan mengenai keberadaan sang Prabu Surya Kancana. Di masyarakat Sunda peristiwa ini dikenal dengan peristiwa ”Ngahyang”. Sehingga sampai saat ini masih dipercayai sebagian besar masyarakat Sunda bahwa Prabu Siliwangi (yang terakhir) Ngahyang.

Pada masa Kerajaan Pajajaran sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf anak Maulana Hasanuddin. Prabu Surya Kancana sebelum meninggalkan Pakuan, mengutus empat prajurit pilihan (Kandaga Lante) untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang untuk mencari perlindungan. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Dengan diberikannya pusaka tersebut kepada Prabu Geusan Ulun (1580-1608), maka dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran telah menyerahkan kekuasaan kepada Kerajaan Sumedang Larang.

Sementara itu, kesultanan Banten dikarenakan telah memiliki batu Gigilang serta merupakan keturunan langsung Jaya Dewata dari kakeknya (=Sunan Gunung Jati), Maulana Yusuf mengklaim sebagai pewaris sah atas tahta Pajajaran. Sehingga Banten pun bersitegang dengan Sumedang. Namun secara de facto, wilayah sisa kerajaan Sunda waktu itu tidak pernah berada dalam administrasi kekuasaan kesultanan Banten.

Pada masa Surya Kancana sudah keluar dari Pakuan (Ngahyang), Istana Pakuan jatuh ke tangan pasukan koalisi Islam (Demak, Banten + Cirebon). Dalam perjanjian terakhir, Sunan Gunung Jati selaku tetua (keturunan dekat Siliwangi) meminta bagi para penghuni kota pakuan yang tidak mau beragama Islam untuk keluar. Hasil perjanjian ini mengakibatkan 40 orang anggota pasukan elit kerajaan sunda keluar dan akhirnya bermukim di Cibeo dan konon menjadi Masyarakat Kanekes (=”Urang Baduy”).

Masa Sumedang Larang sampai Jatuh ke Tangan Belanda

Pada saat pemerintahan Sumedang berada di tangan Prabu Geusan Ulun/Angkawijaya, Mataram (=Sultan Agung) sedang dalam masa kejayaannya. Sehingga demi kepentingan politik (terutama untuk menghadapi Banten) Sumedang menyatakan bergabung dengan Mataram. Pada masanya pula terjadi perselisihan yang menimbulkan peperangan dengan Cirebon. Peperangan ini berhasil didamaikan oleh Mataram. Hasil perdamaian menyebabkan Sumedang kehilangan wilayah Majalengka. Namun Geusan Ulun mendapatkan Ratu Harisbaya (puteri kerabat Mataram) yang menandakan kedekatan dengan Mataram serta kemerdekaan dari Cerbon (akibat kejatuhan Pajajaran).

Penerus Geusan Ulun adalah anak tirinya dari Ratu Harisbaya yaitu Rangga Gempol Kusumah Dinata atau Raden Aria Suradiwangsa (1620-1624). Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, Mataram semakin kuat. Pada tahun 1620 M Sumedang Larang tunduk kepada Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kadipaten'.

Suatu saat Rangga Gempol diperintahkan oleh Sultan Agung untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Namun sejak saat itu Rangga Gempol tidak pernah kembali ke Sumedang, konon ia selanjutnya diangkat menjadi orang dalam istana Mataram. Pemerintahan Sumedang kemudian diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.

Dalam masa pemerintahannya Sumedang Larang diserang pasukan Kesultanan Banten. Karena Rangga Gede/Rangga Gempol II tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menangkap dan menghukum penjara Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.

Sebagai tanda bakti, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta). Serangan tersebut mengalami kegagalan (1628) dan Bahureksa pun tewas. Karena menolak untuk dihukum akibat kekalahan ini, Dipati Ukur memberontak terhadap kekuasaan Mataram. Namun pemberontakan ini dapat dipatahkan dan menyebabkan Dipati Ukur akhirnya dihukum oleh Sultan Agung (1632).

Dengan dihukumnya Dipati Ukur, Pemerintahan dikembalikan kepada Rangga Gede. Saat itu wilayah Sunda telah kehilangan kekuasaan atas Cerbon dan Majalengka (Sultan Cerbon), Banten (Sultan Banten), Jakarta (VOC) dan Galuh (Mataram). Sehingga sisa wilayah Sunda yang masih dipimpin oleh pewaris tahta yang ”sah” tinggal empat kadipaten yaitu Sumedang, Sukapura (=Tasikmalaya), Parakan Muncang dan Tatar Ukur (=Bandung). Keempat kadipaten ini lebih dikenal dengan nama Priangan. Namun demikian sisa wilayah ini pun sebenarnya tunduk kepada Mataram. Adapun kadipaten lain yang langsung dibawah kontrol Mataram (Amangkurat I) adalah Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaja (Galuh), Sekacé (Sindangkasih), Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), jeung Banjar (Panjer).

Pada saat kekuasaan Mataram mulai menurun, wilayah Priangan sisa kerajaan Sunda yang terakhir diserahkan oleh Mataram kepada Belanda (1677). Dan tahun 1705 Belanda juga berhasil menguasai Cerbon dan Priangan Timur (Galuh) melalui perjanjian dengan Mataram. Sehingga wilayah Sunda kecuali Banten telah berada dalam kontrol Belanda. Disusul tahun 1808 Istana Surosowan Banten jatuh ke tangan Raffless/Belanda (saat itu dibawah Inggris). Tahun 1813 Banten sepenuhnya dikuasai Belanda. Sehingga sejak saat itu, secara otomatis wilayah kerajaan Sunda telah sepenuhnya dikuasai Belanda.

Wednesday 4 January 2017

Fakta Sejarah Asal-Usul Bahasa Sunda Dan Perkembangannya


FAKTA SEJARAH ASAL-USUL BAHASA SUNDA DAN PERKEMBANGANNYA


LEBIH LENGKAPNYA BACA DISINI !

Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14.
Prasasti dimaksud di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis pada batu alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).
Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi “Nihan tapak walas nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama nu pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana” (inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Eyang Prabu Adipati Wastukentjana yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).
Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin sekali Bahasa Kw’un Lun yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.
Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai dengan 180. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas.
Contoh bahasa Sunda yang ditulis pada naskah adalah sebagai berikut:
  • Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) “Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)
  • Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma” (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).
Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India. Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam, dan menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.
Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.
Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya. Paling tidak pada abad ke-11 telah digunakan Bahasa dan Aksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang ditemukan di Tatar Sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu.
Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi dilingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa.
Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi social secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWAC AN dengan menggunakan Aksara Pegon.
Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.
Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor.
Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.
Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-harinya. Karena itu, kiranya keberadaan Bahasa Sunda optimis bakal terus berlanjut.

Sejarah Prabu Siliwangi


PRABU SILIWANGI





Siapakah Prabu Siliwangi itu ?

Apakah dia leluhur orang Sunda ?
dan Benarkah dia seorang raja ? 

Ikuti Kisah nya disini :
Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan zaman Pajajaran, yang memerintah selama 39 tahun (14821521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.

Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata.

Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di kerajaan Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran.

Prabu Siliwangi
Di Jawa Barat, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda).

Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:

"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".
Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Masa Muda
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.

Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):

"Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.

Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.

Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemasyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. 

Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".

Perang Bubat
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan kenyataan sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).

Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. 

Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).

Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.

Kebijakan Dalam Kehidupan Sosial
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):

Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.

Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.

Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".

Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.

"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). 

Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.

Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).

Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). 

Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.

Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.

Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.

Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.

Peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahannya
Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:
Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :

"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".

(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).

Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.
Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.

Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran."Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)".

Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.

Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.

Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).

Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran].

Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut. 

Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].

Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :

Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).

Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.

Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso d'Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau Samudra Pasai). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.

Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. 

Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya -- Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).

Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).

Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.

Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.